Fenomena Dalam Standart Kecantikan
Fenomena Dalam Standart Kecantikan yakni ialah sesuatu adapun jua nan ada di dalam diri wanita. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan “kecantikan” sebagai kecantikan adapun jua nan berkaitan dengan muka, wajah; atau mendeskripsikannya dengan kecantikan.Kecantikan dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu adapun jua nan berhubungan dengan penampilan, adapun jua nan merupakan gabungan dari ciri-ciri fisik (seperti berat maupun pula bentuk, ukuran payudara, warna kulit, jenis rambut), jenis produk, pelayanan maupun pula aktivitas semacam itu. seperti pakaian (fashion) adapun jua nan menarik, kosmetik, gaya rambut, kegiatan rekreasi (seperti perawatan salon) bahkan operasi plastik (seperti implan payudara). Meskipun kecantikan merupakan sesuatu adapun jua nan ‘pada wanita, tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya ada orang-orang spesial. kriteria adapun jua nan harus dimiliki seorang wanita dari segi fisik untuk disebut “cantik”. Beberapa kriteria tersebut antara lain kulit cerah, rambut hitam maupun pula panjang, hidung mancung, payudara besar, pinggang tipis, serta tinggi, kurus, maupun pula tinggi. Dalam konteks inilah diteguhkan cita-cita maupun pula nilai-nilai bagi seorang wanita agar dapat dikatakan sebagai “wanita cantik”. Dalam buku The Beauty Myth, seorang wanita bernama Naomi Wolf menunjukkan bahwa cita-cita ini tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi datang dari suatu tempat maupun pula memiliki dolar untuk dapat menjalankan iklan adapun jua nan menimbulkan kesan baik . Meskipun ide bagus sangat sulit untuk ditiru adapun jua nan beredar di masyarakat.
Gambaran Mitos Kecantikan
Iklan maupun pula media telah banyak memberikan gambaran tentang “mitos kecantikan” bagi wanita, sehingga disadari atau tidak wanita akan tetap menggunakan produk-produk perusahaan komersial maupun pula memastikan bahwa mereka termasuk dalam kriteria wanita adapun jua nan baik sebagai dituangkan dalam norma-norma sosial. Serangan konstan terhadap kecantikan terhadap perempuan telah memungkinkan kekerasan hak asasi manusia terhadap tubuh perempuan, tetapi pada saat adapun jua nan sama mereka digiring ke mitos tentang kecantikan oleh korporasi adapun jua nan terus dipromosikan oleh kapital. Maraknya industrialisasi menyebabkan terciptanya mitos-mitos tentang kecantikan di masyarakat. Sebelum revolusi industri, rata-rata wanita tidak memiliki ide adapun jua nan sama tentang apa adapun jua nan disebut dengan “kecantikan”.
Hal ini berbeda dengan wanita masa kini adapun jua nan memiliki “petualangan” sebagai acuan tetap pola fisik sehat adapun jua nan umumnya menyebar. Gudang senjata modern dari mitos ini yakni ialah beredarnya jutaan gambar perempuan. , yaitu bagian seperti kulit, postur tubuh, rambut, bibir, mata, kuku, payudara, pakaian, maupun pula sebagainya. bisa merugikan wanita 12 Dalam bukunya, Naomi Wolf juga mengatakan bahwa banyak wanita rela mencelakai dirinya sendiri demi mendapatkan nama “cantik” 13 Pre. Kata “kecantikan” itulah adapun jua nan membuat banyak wanita merasa malu karena memperhatikan hal-hal seperti bentuk tubuh, tubuh, wajah, rambut, maupun pula kacamata khusus. Meskipun telah dipengaruhi oleh rasa malu, rasa bersalah maupun pula kekacauan, perempuan juga memiliki konflik antara kebebasan maupun pula keindahan dalam dirinya. terbatas pada peraturan maupun pula ketentuan adapun jua nan ditentukan oleh kehidupan sosialnya. Menyadari bahwa pembahasan perempuan dari mistik feminin keluarga sudah tidak berlaku lagi, mitos indah ini digunakan untuk mempromosikan pemberdayaan laki-laki kontrol perempuan (tubuhnya).
Fenomena Dalam Standart Kecantikan Fenomena Standart Kecantikan
Meski terlihat seperti hal kecil, namun hal ini cukup berkontribusi terhadap perasaan sedih, perilaku opresif maupun pula perasaan rendah diri adapun jua nan dialami perempuan. Menurut situs resmi Liputan6.com, Benedicta Desideria mengatakan bahwa lebih dari setengah orang dewasa menjadi korban kekerasan fisik 16 atau ejekan/kritik terkait warna kulit, ukuran tubuh bahkan bentuk kaki. Dalam survei terhadap 2.000 orang dewasa, sekitar 56 persen mengatakan mereka menjadi korban rasa malu fisik tahun lalu. 17 Selain itu, satu dari sepuluh peserta mengalami rasa malu fisik minggu lalu. 18 Seperti adapun jua nan ditunjukkan oleh data, banyaknya kasus kekerasan adapun jua nan dialami perempuan melalui kasus-kasus aib – penyebab norma sosial kecantikan perempuan – tentu saja hal ini cukup menunjukkan kepada kita bahwa perempuan lah adapun jua nan akan merasakan dampaknya. kehadiran. Dari standar kecantikan ini. Standar terkait kecantikan perempuan pada akhirnya menjadi beban berat bagi perempuan, di samping beban kebutuhan lain seperti standar perempuan adapun jua nan baik – misalnya keterampilan kuliner maupun pula penampilan kegiatan lokal lainnya adapun jua nan wajib bagi perempuan.
Secara tidak langsung standar kecantikan benar-benar menindas, menindas maupun pula ‘membunuh’ perempuan karena jika tidak memenuhi standar kecantikan maka ia akan dikucilkan dari kehidupan sosial. Apalagi identitas seorang perempuan dianggap terkait dengan “kecantikannya” sendiri. Standar kecantikan wanita telah menjadi bagian dari budaya masyarakat, suka atau tidak suka, artinya wanita harus melakukan segala cara untuk memenuhi standar tersebut, meskipun dengan resiko. Akhirnya, “beauty is pain” seolah menjadi simbol umum bagi perempuan untuk mendapatkan pengakuan publik sebagai perempuan sempurna, yaitu perempuan dengan kecantikan maupun pula cita-cita menurut standar sosial. Perempuan berusaha mencapai standar tersebut, tetapi pada saat adapun jua nan sama mereka melepaskan kebebasan untuk mengungkapkan apa adapun jua nan ingin mereka ungkapkan maupun pula katakan.
Dunia perempuan lebih terbatas daripada kebebasannya, tidak berlebihan karena terkungkung oleh standar-standar adapun jua nan ada dalam kehidupan manusia. Dari sini penulis mengutip pengalaman bahwa perempuan bebas mengekspresikan “keindahan” berdasarkan keinginan maupun pula aspirasinya sendiri. Penulis ingin menggunakan konsep eksistensi adapun jua nan diusung oleh feminis Simone de Beauvoir untuk menjawab persoalan kebebasan dalam fenomena “penindasan” adapun jua nan dialami perempuan akibat standar kecantikan di masyarakat. Beauvoir mengungkapkan konsep eksistensialisme dalam salah satu bukunya, The Other Sex. Dalam tulisannya, ia mencoba menjelaskan rendahnya peran perempuan dalam masyarakat. Buah dari gagasan Beauvoir dalam The Other Sex inilah adapun jua nan dikenal dengan feminisme. Melalui epistemologi eksistensialisme Jean Paul Sartre, merupakan postulat eksistensialis adapun jua nan digunakan dalam konsep feminisme, eksistensi Simone De Beauvoir. L’être-en-soi yakni ialah semua adapun jua nan tidak disadari, tidak dapat menentukan tujuan hidupnya maupun pula sebanding dengan benda mati. Yaitu, manusia itu sendiri.24 Konsep L’être-en-soi maupun pula L’être-pour-soi dalam eksistensi feminis merupakan bentuk penegasan atas irasionalitas hidup maupun pula ketiadaan manusia sebagai ‘keinginan’. ‘ itu milik pria itu.
Keinginan untuk menjadi L’être-en-soi maupun pula juga L’être-pour-soi yakni ialah mustahil. Perempuan hanyalah sosok ‘lain’ – sosok lain bagi laki-laki. Eksistensinya sebagai perempuan hanya ditentukan oleh bagaimana dia memperlakukan orang lain. Wanita harus sadar membuat pilihan bebas. Dalam keberadaan feminitas, perempuan dipandang memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri dan memilih untuk bertahan atau melepaskan diri dari dominasi laki-laki. Melalui artikel ini, penulis ingin melihat apakah konsep eksistensialisme yang diusung oleh Simone de Beauvoir (yang nantinya akan ditulis bersama Beauvoir) dapat didiskusikan dan berkontribusi pada fenomena standar kecantikan wanita yang justru membuka celah tekanan didalam diri wanita.